I LOVE BATAK

Sunday, October 14, 2012

ritual adat batak


Marari Sabtu,
yaitu pada setiap hari Sabtu atau Samisara seluruh umat Parmalim berkumpul di tempat yang sudah yang sudah ditentukan baik si Bale Partonggoan, Bale Pasogit di pusat maupun di rumah parsantian di cabang/daerah untuk melakukan sembah dan puji kepada Mulajadi Nabolon dan pada kesempatan itu para anggota diberi poda atau bimbingan agar lebih tekun berprilaku menghayati Ugamonya.
Martutuaek,
yaitu upacara yang dilakukan dirumah umat yang mendapat karunia kelahiran seorang anak, atau pemberian nama kepada anak. Anak yang baru lahir sebelum dibawa berpergian kemana mana harus lebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air untuk membersihkan dan ini dilaksanakan untuk membawa anak tersebut ke umbul mata air disertai bara api tempat membakar dupa. Kemudian baru dibawa ke dunia baru yaitu pasar dan diberi buah buahan manis perlambang hari kedepan yang makin manis. Setelah dirumah dilanjutkan lagi dengan upacara, bergantung kepada kemampuan keluarga tersebut. Pada saat pulang dari pasar tadi,siapa saja diinginkan oleh keluarga si anak meminta buah buahan bawaan si anak tadi sebagai perlambang bahwa si anak kelak akan bersifat maduma.
Mardebata,
Yaitu upacara yang sifatnya individual dimana seorang melaksanakan upacara sendiri tanpa melibatkan orang lain. Ritus ini sendiri mempunyai tujuan ganda yaitu meminta keampunan dosa atau menebus dosa dan syukuran. Seseorang yang merasa menyimpang dari aturan patik perlu menyelenggarakan pardebataon sebagai sarana untuk menebus dosanya. Bagi orang lain pardebataon itu mungkin pula untuk mewujudkan kaulnya. Jika upacaranya dibuat besar besaran misalnya untuk mewujudkan niatnya harus dengan menyajikan sesaji secukupnya dan boleh juga dihantar gendang sabangunan serta di atur oleh tata upacara resmi sesuai dengan tata upacara dari Ihutan atau dari Uluan.
Pasahat Tondi
Upacara kematian dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah pengurusan jenazah menjelang pemakaman, kedua adalah pasahat tondi. Pemberangkatan jenazah dipimpin oleh Ihutan atau Ulupunguan dengan upacara doa “Borhat ma ho tu habangsa panjadianmu”
Setelah pemakaman,dilanjutkan dengan upacara pasahat tondi yaitu upacara mengantar roh dalam arti harfiah. Tuhan menciptakan manusia atas dua bagian yaitu badan dan roh (pamatang dohot tondi). Apabila badan mati, roh tidak ikut mati, Ia kembali kepada penciptanya, sesuai dengan pandangan Ketuhanan Parmalim, bahwa :”ngolu dohot hamatean huaso ni Debata”.
Mangan Napaet
Adalah upacara atau berpuasa untuk menebus dosa dilaksanakan selama 24 jam penuh pada setiap penghujung tahun kalender Batak yaitu pada ari hurung bulan hurung. Upacara ini bersifat umum dilaksanakan di setiap cabang. Perangkat dasar upacara ini selain pangurason dan pardupaon yang terpenting ialah mangan napaet, diramu dari beberapa jenis buah dan daun yang pahit seperti daun pepaya, buah ingkir,babal,cabe rawit, jeruk bali muda dan garam.
Mangan napaet merupakan pengabdian warga parmalim kepada Raja Nasiakbagi yang menderita untuk manusia. Selain itu merupakan simbol dari kehidupan yang pahit kepada kehidupan yang manis. Dan juga arti mangan napaet akan di akhiri dengan mangan natonggidan inilah permulaan hidup perilaku baru untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari. Setelah mangan napaet maka dilaksanakan pula upacara persembahan kambing putih kepada Mulajadi Nabolon.
Upacara Sipaha Sada
Adalah merupakan upacara yang paling hikmat dan mengandung nilai religius yang paling dalam, bagi umat Parmalim. Pelaksanaan upacara ini disambut gembira karena sehari sebelumnya Parmalim baru saja selesai mengadakan upacara mangan napaet yaitu suatu acara pembebasan manusia dari dosa. Upacara sipaha sada adalah penyambutan datangnya tahun baru Ugamo Malim atau acara pergantian tahun sekaligus dinamakan Tahun Baru Batak.
Hari pertama sipaha Sada disebut artia. Pada hari itu ugamo Parmalim berada pada suasana hening atau disebut robu. Ini merupakan hari perenungan akan perjalanan hidup diri sendiri atau katakan saja dengan dialog batin. Dan hari berikutnya dinamai Suma. Pada hari itu diperingati hari lahir Simarimbulubosi. Upacara dipusatkan di Bale Pasogit. Upacara ini melakukan sesajen juga kepada Mulajadi Nabolon termasuk ketiga wujud pancaran kuasa yaitu Batara guru, Debata Sori dan Debata Balabulan, seterusnya kepada Raja Nasiakbagi dihantarkan asap dupa, dengan bunyi gendang sabangunan.
Upacara Sipaha Lima
Yaitu upacara yang dilakukan pada bulan kalender Batak untuk menyampaikan pujipujian kepada Mulajadi Nabolon termasuk kepada wujud Pancaran Kuasanya Batara guru, Debata Sori dan Debata Balabulan, seterusnya kepada Raja Nasiakbagi, karena atas berkatnya semuanya memperoleh rahmat,sehat jasmani dan rohani. Upacara ini disebut upacara kurban, karena sesaji yang di persembahkan adalah kurban berupa kerbau atau lembu.
Sebenarnya upacara ini berpangkal dari persembahan hasil penuaian pertama kira kira dua liter atau patunoma dari panen kepada Mulajadi Nabolon. Upacara dilakukan besar besaran oleh semua umat parmalim yang datang dari segala penjuru tanah air dan ditampung di Bale Pangaminan. Sajian pertama kepada Mulajadi Nabolon diantar dengan asap dupa, dengan bunyi gendang sabangunan.
Upacara sipaha Lima diselenggarakan pada hari ke 12 – 13 dan 14 menjelang bulan purnama. Hari tersebut dinamakan Boraspati, singkora,dan Samisara berkisar antara bulan Juli – Agustus pada bulan Masehi. Upacara diadakan penuh khidmat tanda syukur kepada Mulajadi Nabolon agar diberi keselamatan dan kesejahteraan pada hari hari berikutnya.

Saturday, October 13, 2012


rumah adat batak toba

  
Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal, sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi.  Disebut Rumah Bolon karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi rumah bolon berarti rumah Tuhan. Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu. Batara Guru. Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut Jabu Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah adat yang menjadi hak anak bungsu. Penataan lumban berbentuk lebih menyerupai sebuah benteng dari pada sebuah desa.
Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang terbagi alas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk atap rumah.

            Pada penataan bangunan yang terdiri dari beberapa ruma dan sopo sangat menghargai keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan dengan rumah dan mengacu pada poros utara selatan. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba yang didominasi oleh bertani, dengan padi sebagai sumber kehidupan yang sangat dihargainya. Di dalam lumban, terdapat beberapa rumah dan sopo yang tertata secara linear. Beberapa ruma tersebut menunjukkan bahwa ikatan keluarga yang dikenal dengan extended family dapat kita ketemukan dalam masyarakat Batak Toba.
BAGIAN-BAGIAN RUMAH BATAK
Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
  1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
  2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang
  3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan homitan).
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah :
  1. Banua toru (bawah)
  2. Banua tonga (tengah)
  3. Banua ginjang (atas) 
ATAP
Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang melengkung menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.
Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat. Suku batak menganggap Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan untuk menyimpan pusaka mereka.
BADAN RUMAH
Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia tengah, dunia tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur, bersenda gurau. Bagian badan rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak bala.
PONDASI
§  Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai tumpuan dari kolom kayu yang berdiri diatasnya.
§  Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang fleksibel, sehingga tahan terhadap gempa
§  Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan
§  Mengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih banyaknya batu ojahan dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat perekat seperti semen
DINDING
§  Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
§  Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.  
PINTU MASUK BANGUNAN
Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
Proses Mendirikan Rumah:
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan         antara            lain: tiang, tustus(pasak), pandingdinganparhongkomururninggortureturesijongjongisitindangisongsongboltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan. Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak Toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit dijungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan Ndang tartea sahalak sada pandingdingansebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebutSi tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati”.
Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebutPangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
            Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
            Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
            Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan Tangga rege-rege.

Gorga
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.

            Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya.
 
NILAI FILOSOFI RUMAH ADAT BATAK
Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.

asal-usul batak

Sebenarnya beberapa versi menghiasi sejarah tentang asal usul suku Batak. Singkatnya salah satu versi itu dapat dijelaskan begini (ini serius loh):
Suku Batak itu berasal dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, daerah pinggiran Danau Toba, lebih kurang delapan kilometer arah barat Pangururan, Kabupaten Toba Samosir.

Namun kalo itu tidak cukup, maka beginilah penjelasannya (ini juga serius loh):
Suku bangsa Batak itu adalah Proto Malayan, sama seperti suku bangsa Toraja. Mungkin ini adalah salah satu jawaban kok beberapa bahasa Toraja itu mirip dengan bahasa Batak. Sedangkan Neo Malayan itu turunannya adalah suku-suku bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura dan sebagainya.
Jadi gitu, Suku bangsa Batak itu awalnya adalah salah satu suku dari Proto Malayan yang bermukim di pegunungan perbatasan Burma (Myanmar sekarang) dan Siam (Thailand sekarang). Selama ribuan tahun lamanya suku bangsa Batak itu bertempat tinggal dengan suku bangsa Proton Malayan lainnya, seperti Karen, Igorot, Toraja, Bontoc, Ranau, Meo, Tayal dan Wajo. Bayangkan betapa bosannya selama ribuan tahun hidup di gunung terus. Gak ada tv, gak ada mal, apalagi artis. Hanya ada pepohonan dan bebatuan. Kriik.. krikk.. krikk… sepi….
Zaman dulu suku-suku Proto Malayan itu orangnya gak gaul, gak mau berhubungan dengan dunia luar. Mereka setia tinggaI di pegunungan. Kemungkinan besar mereka gak pernah piknik ke pantai. Hehe.. Ini berbeda sekali dengan suku-suku Neo Malayan. Suku-suku Neo Malayan lebih suka tinggal di tepi laut atau tanah datar terbuka. Sama seperti Dono, Kasino, Indro yang difilm-flmnya pasti ada saja adegan pergi ke pantai.
Tapi semua itu berakhir. Si Suku-suku Proto Malayan terpaksa berhenti menutup diri di pegunungan itu. Karena sekitar tahun 1000 Sebelum Masehi (SM), suku bangsa Mongol datang menyerang dan terpaksalah mereka kabur ke selatan, sepanjang sungai-sungai Irawady, Salween, serta Mekong.
Udah itu,, mereka gak cuma didesak oleh si suku-suku mongol itu. Ternyata mereka juga didesak bangsa Syan yang bukan Proto Malayan, tapi Palae Mongoloid. Jadinya sebagian besar suku-suku Proto Malayan itu terdesak sampai ke tepi laut di teluk Martaban (kasian nenek moyang ku..). Hilanglah sifat-sifat kuper yang mereka gemari.
Nah.. sekarang mereka sudah tinggal di tepi laut. Tentunya sekarang mereka sudah bisa piknik ke pantai…(Yeeee…) Di tepi laut, kebudayaan Proto Malayan ini jadinya mulai kecampur dengan budaya Hindu (bahasa kerennya terakulturasi), Ini juga mempengaruhi bahasanya. Seperti contohnya dalam bahasa Batak, istilah-istilah seperti debata, singa, surgo, batara dan mangaraja.
Tapi emang dasar orang gunung, Suku-suku proto Malayan tentunya kurang senang bertempat tinggal di tepi laut. Terlalu banyak orang asing yang harus diperhitungkan.
” Bihkskh jhk, lkjajs jjasj dfre dafed laisf, jkansajk ahbjks fdljfl sfjdklj dnflk! Dsdnk- dsdnk cgruu neianh hula hrifsj thanydioi… Oringh.. Oringh.. ajsklaj ;kl; nklklj jklj skjd. Bajk hjaksd kla!” tutur salah seorang pria Proto Malayan sambil menggaruk-garuk pantatnya yang baru saja digigit kepiting laut.
Jika diterjemahkan menjadi: ”Busset daah, males banget gw di tepi laut, mana banyak orang banget di sini! Lama-lama cabut jg gw.. Oringh.. Oringh.. Mana lagi bini’ gw. Bikinin kopi sono!”
Mereka murung. Sedih. Mereka gak tahan lagi menanggung derita ini. Beberapa orang bahkan sampai mencoba bunuh diri dengan cara menusuk-nusukan capit kepiting ke ketek kiri mereka, sebab konon katanya mereka percaya bahwa letak jantung adalah di ketek kiri. Hehe…
Ini sangat menyakitkan… Gak ada lagi tempat terisolasi seperti mereka biasanya. Mereka gak tahan lagi. Lalu mereka memberanikan diri mengambil resiko, menyeberangi lautan mencari tempat tertutup.
Suku-suku dari Proto Malayan pun akhirnya terpisah-pisah. Suku-suku bangsa Proto Malayan yang kecil-kecil, banyak yang melancong dan akhirnya menetap di Filipina. Di situ mereka membentuk komunitas baru dan buka bisnis togel… (hehe.. gaklah). Disana mereka menolak agama Islam dan agama Katholik. Padahal 90 persen orang Filipina, yang suku-sukunya Neo Malayan, beragama Islam dan agama Katholik, seperti suku Tagalog.
Ada juga yang ke Taiwan. Suku bangsa Tayal pergi ke puncak-puncak gunung di Taiwan sejak 3.000 tahun lalu sampai sekarang (Jangan-jangan mereka itu leluhur F4 yang di serial meteor garden. Hehe) Mereka tidak ambil pusing bahwa tanah-tanah datar di tepi pantai Taiwan, silih berganti direbut Cina, Belanda, Cina, Jepang dan Cina lagi.
”Jkjg jklj ljklj hhs, hha akhcu jh, hkau jhj gkh! Hkhs auhi jo seeeept… seeept seept… seept.. (Lo mau perang kek, mau ngapain kek. Gw kagak peduli! Terserah lo dah booss… booos.. boos… boos…)” teriak mereka dari gunung sambil menyaksikan tanah datar di tepi pantai Taiwan direbut silih berganti.
Sejak 3.000 tahun di Taiwan mereka menolak segala macam agama. Tetapi sesudah Perang Dunia II mereka mulai mau menerima Kristen dari pendeta-pendeta Kanada, yang membawa ilmu kesehatan modern.
Suku bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Di situ mereka selama 3.000 tahun hingga sekarang kontra dengan suku-suku bangsa Bugis dan Makasar, yang adalah Neo Malayan. Mereka berantem mulu (udah mirip Israel-Palestina aja yak…). Agama Islam sekitar 400 tahun sudah diterima Bugis dan Makasar. Tetapi suku Toraja gak mau. Tapi pas abad XX suku bangsa Toraja mau menerima Protestan Calvinist dari pendeta-pendeta Belanda.
Sementara suku Karen tetap bertahan di pegunungan Burma. Sampai sekarang juga berantem terus dengan suku bangsa Burma yang membentuk Republik Burma. Suku bangsa Karen tetap menolak agama Budha, yang dianut orang-orang Burma dan Siam. suku bangsa Karen sejak abad ke-XIX menerima agama Kristen/British Baptists dari pendeta-pendeta Inggris.
Sedangkan suku bangsa Ranau mendarat di Sumatera Barat, lalu selama 2.500 tahun berkurung di sekitar Danau Ranau. Lepas dari segala pengaruh kerajaan Sriwijaya, kerajaan Darmasraya, dan apa saja yang timbul dan lenyap di Sumatera Selatan. Tapi sekitar tahun 1550 suku bangsa Ranau ditaklukkan kesultanan Banten, yang membutuhkan sekitar Danau Ranau untuk penanaman merica untuk ekspor. Nah, Tulisannya si suku bangsa Ranau inilah yang paling dekat ke tulisan Batak. Sedangkan bahasa Igorot (di Filipina) itulah bahasa terdekat dengan bahasa Batak.
Lalu bagaimana nasib si suku bangsa Batak, nenek moyangku? Tenang-tenang… ternyata mereka mendarat di pantai Barat pulau Sumatera. Di situ suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa gelombang (gelombang radio tidak termasuk). Gelombang pertama berlayar terus dan mendarat di pulau-pulau Simular, Nias, Batu, Mentawai, Siberut sampai ke Enggano (Sumatera Selatan).
Gelombang kedua mendarat di muara sungai Simpang, sekarang Singkil. Mereka bergerak sepanjang sungai Simpang Kiri dan menetap di Kutacane. Dari situ mereka menduduki seluruh pedalaman Aceh. Itulah yang menjadi orang-orang Gayo, dan Alas.
Sementara gelombang ketiga mendarat di muara Sungai Sorkam, antara Barus dan Siboga. Memasuki pedalaman daerah yang sekarang dikenal sebagai Doloksanggul dan belakangan menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit (2005 meter), di tepi danau Toba sebelah barat, sekarang di seberang Pangururan. Dari situ berkembang dan akhirnya menduduki tanah Batak yang sekarang, antara Aceh dan Minangkabau, antara Samudera Hindia dan Selat Malaka. Jadi begitulah garis beras (eh, besar) dari migrasinya suku bangsa Batak.
Begitu ceritanya…
Tapi ada juga versi lainnya yang mengatakan Suku Batak berasal dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba. Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan, pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1.400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.